Jumat, 28 Agustus 2009

Daftar Artefak dan Kebudayaan Indonesia Yang "Dicuri"

Berikut ini adalah daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain:
MALAYSIA
1. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
2. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
3. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
4. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
5. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia
6. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
7. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
8. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
9. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
10. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
11. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
12. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
13. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
14. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
15. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
16. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
17. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
18. Kain Ulos oleh Malaysia
19. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
20. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
21. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia

BELANDA
22. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
23. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
24. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda

LAINNYA
25. Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
26. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN
Perancis
27. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
28. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
29. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
30. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
31. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
32. Batik dari Jawa oleh Adidas

Kamis, 13 Agustus 2009

Mereka Bukan Keluarga Biasa

Mereka Bukan Keluarga Biasa
oleh Sudarmadi
Dikutip dari situs http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=8629


Tak sedikit keluarga yang berhasil mendidik anak-anaknya sehingga sebagian besar punya karier dan prestasi di bidang yang mereka geluti. Bagaimana mereka melahirkan generasi seperti itu?Apa “gizi” yang diberikan?

Siapa sih yang tak ingin mempunyai anak-anak yang sukses? Rasanya tak akan ada seorang pun yang menggelengkan kepala. Setiap orang ingin melahirkan generasi atau anak-anak yang kalau bisa semuanya sukses. Arti sukses di sini, bukan hanya berkontribusi positif, tapi juga menonjol, berprestasi, dan berkibar di bidang masing-masing. Entah itu sebagai wirausaha (entrepreneur), profesional, artis, pejabat publik, atau profesi lainnya.

Namun, tentu saja fakta berbicara lain. Kenyataannya, tidak mudah menciptakan generasi sukses dalam keluarga. Apalagi, kalau sebagian besar atau bahkan semua anak dalam keluarga bisa meniti jalur yang moncer di profesi masing-masing, pasti jauh lebih sulit.

Menariknya, di Indonesia ternyata tak sedikit keluarga (orang tua) yang mampu melahirkan generasi sukses seperti itu, baik di lingkup bisnis maupun lembaga publik (birokrasi). Di dunia bisnis, misalnya, kita bisa mendaftar beberapa keluarga. Antara lain, keluarga Firmansyah, yang memiliki putra-putri: Erry Firmansyah, Rinaldi Firmansyah dan Evi Firmansyah. Mereka sukses berkarier di BUMN. Erry kini Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia dan Rinaldi menjabat Dirut PT Telkom, sedangkan adik perempuan mereka, Evi, menjadiWakil Dirut Bank Tabungan Negara.

Masih di dunia bisnis, boleh juga menyebut keluarga Wirjawan (pasangan Wirjawan Djojosoegito dan Paula Warokka). Putranya, antara lain, Gita Wirjawan, yang sempat menjadi orang nomor satu di JP Morgan Indonesia, tapi baru saja undur diri untuk mendirikan Ancora Capital. Lalu, Dian Budiman Wirjawan (mantan Dirut PT Danareksa), Wibowo Suseno Wirjawan (mantan Dirut PT Jakarta International Container Terminal dan Dirut PT Terminal Peti Kemas Koja), serta Rianto Ahmadi Djojosoegito yang kini Wakil Presiden Direktur PT Allianz Life Indonesia.

Kiprah keluarga Satar pun menarik. Emirsyah Satar sudah tak asing, kini Presdir di PT Garuda Indonesia. Lalu, saudaranya, Rizal Satar, menjabat Presdir Pricewaterhouse Coopers FAS. Sementara Kemal Satar bergelut sebagai wirausaha properti.

Di jajaran entrepreneur pun kita juga bisa mengambil contoh beberapa keluarga yang masing-masing putra (generasi penerus)-nya sukses menekuni bisnis sendiri. Contoh menarik keluarga Wanandi. Sofjan Wanandi sukses mengembangkan Grup Gemala, Biantoro Wanandi mengorbitkan Grup Anugerah (Anugerah Pharmindo Lestari, dll.), dan Rudy Wanandi membesut bisnis asuransi PT Asuransi Wahana Tata. Adapun Jusuf Wanandi lebih aktif sebagai intelektual. Jusuf aktivis dan pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Dari lingkungan keluarga pendidik (dosen), acungan jempol layak ditujukan ke keluarga Sri Mulyani (putra-putri pasangan Prof. Drs. Satmoko dan Prof. Dr. Retno Sriningsih). Sri Mulyani adalah satu di antara 10 bersaudara. Yang menarik, karier 9 saudaranya juga berkembang dengan baik. Sri Mulyani tak usah dibahas. Dia Menteri Keuangan RI saat ini, dosen Universitas Indonesia, sempat mengepalai Bappenas dan bekerja di Dana Moneter Internasional (IMF). Sembilan saudara Sri Mulyani rata-rata juga lulusan S-3 dan S-2.

Contohnya, Agus Pramudiyanto, anak pertama alias kakak tertua Sri Mulyani, adalah guru besar UI dan pejabat eselon 1 Departemen Kesehatan RI. Saudaranya yang lain, Asri Purwanti, mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Nining Triastuti, arsitek dari Institut Teknologi Bandung, tapi mengambil S-3 Ekonomi di Fakultas Ekonomi UI dan sekarang dosen FE UI. Terus, ada lagi Nanang Untung Cahyono, alumni Jurusan Teknik Kimia ITB yang pernah bekerja di Exxon, Arun dan sekarang profesional di Pertamina; Atik Umiyatun Hayati, insinyur ITB, kini pejabat eselon 1 Bappenas; Sri Harsi Teteki, alumni FK Undip, kini profesional di Telkom; dan Sutopo Patria, alumni FK Undip, sekarang mengambil studi jenjang S-3. Punya 10 putra-putri yang semuanya mendapatkan karier bagus jelas merupakan prestasi yang luar biasa.

Pada lingkup profesi kedokteran, kita boleh mencatat keluarga drg. Noto Husodo Widodo sebagai keluarga yang unik sekaligus spektakuler. Dari keluarga ini, tak kurang dari 18 orang yang berprofesi sebagai dokter gigi. Drg. Noto sendiri adalah empat bersaudara, dan menjadi dokter gigi bersama saudaranya, Harjanto Widodo. Uniknya, Noto yang menikah dengan dr. Lydiana Gunawan dikaruniai tiga anak yang semuanya dokter gigi, yakni drg. Joyce Niti Widodo,. Drg. Grace Niti Widodo dan drg. Arifo Adhianto Widodo.

Uniknya lagi, Joyce menikah dengan Felix Hartono Koerniadi yang juga dokter gigi. Terus, Grace pun menikah dengan dokter gigi, yakni drg. Benny M. Soegiharto. Mayoritas keponakan drg. Noto juga dokter gigi, atau setidaknya menikah dengan dokter gigi. Total tak kurang dari 18 dokter gigi di lingkungan keluarga ini. Ada yang membuka klinik sendiri dan ada yang kerja untuk rumah sakit besar tertentu.

Dari Jawa Tengah, menarik juga melirik keluarga sukses dr. Supandji, dokter penyakit dalam di Akademi Militer, Magelang. Supandji melahirkan lima putra dan satu putri yang rata-rata kariernya di atas rata-rata. Anak pertamanya, Hendarto Supandji, pengajar di FK Undip (pensiun). Lalu, Hendarman Supandji, sebagian besar sudah mafhum karena dia adalah Jaksa Agung RI.

Seterusnya, Hendardji Supandji, salah satu pejabat di KASAD; Budi Susilo Supandji, mantan Dekan Fakultas Teknik UI, Direktur Kopertis untuk wilayah Jakarta, Dirjen Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan dan Keamanan RI; dan Ongky Supandji, aktif sebagai pengusaha. Jadi, keluarga Supandji ada yang di birokrasi, dosen dan bisnis.

Pasangan Sutrepti dan Soemarno (Gubernur DKI tahun 1960-an dan Menteri Keuangan Kabinet Dwikora) pun melahirkan anak-anak cemerlang. Ada Ari H. Soemarno (kini Dirut PT Pertamina), lalu Rini M. Soemarno (mantan Menteri Perdagangan, Presdir Grup Astra, dan kini pengusaha otomotif), dan Ongki P. Soemarno (pengusaha multibisnis, mantan eskekutif Grup Humpuss). Dua putrinya yang lain memilih menjadi ibu rumah tangga, tapi anak-anaknya juga sukses meretas karier di luar negeri. Bisa jadi, ada yang menilai pantas saja mereka sukses karena orang tuanya punya posisi tinggi. Namun, seharusnya juga diingat, banyak anak pejabat yang jangankan kariernya tumbuh, sekolah menengah saja tak selesai. Bahkan, anak-anaknya banyak yang kacau.

Di panggung olah raga, kita bisa mencatat keluarga Radja Nasution yang secara luar biasa mengantarkan putri-putrinya menjadi atlet-atlet renang terbaik di negeri ini. Ada Elfira Nasution, Elsa Manora Nasution, Maya Masita Nasution, Kevin Rose Nasution, dan M. Akbar Nasution. Semuanya merupakan atlet-atlet renang papan atas negeri ini dan sudah mewakili RI di berbagai event, seperti SEA Games atau Asian Games.

Di kancah perbulutangkisan, antara lain terdapat keluarga Djumharbey Anwar yang anak-anaknya pemain bulu tangkis berprestasi. Mulai dari Markis Kido (pemain nasional peraih emas Olimpiade 2008), Pia Zebaidah Bernadet (anggota pelatnas, penentu kemenangan Indonesia di SEA Games 2007), Bona Septano (pemenang Kejuaraan Dunia Mahasiswa di Eropa). Tentu, selain keluarga Radja Nasution dan Djumharbey Anwar, masih ada keluarga lain yang bisa jadi juga tak kalah cemerlang.

Lalu, kalau menengok dunia seni, beberapa keluarga juga pantas disebut. Pasangan A.R. Juwarno dan Agnes Sumiarsih mengorbitkan putra-putra yang harum di dunia musik. Kita tentu kenal Katon Bagaskara, Nugie (Gusti Nugroho) dan Andre Manika, ketiganya putra pasangan itu. Andre Manika seorang pencipta lagu, sementara Katon (KLA Project) dan Nugie artis yang dikenal luas karena beberapa albumnya sukses di pasar.

Demikian juga, pasangan Jopie Item dan Evi Aziz. Mereka sukses mencetak pelaku-pelaku industri musik. Sebut saja, Paula Alodya Item (Audy), penyanyi wanita papan atas yang sukses meraih empat penghargaan AMI Award. Lalu, Stevy Morley Item (gitaris Andra and The Backbone) dan Rinaldi Ramadlan Item (gitaris Hi Gain dan Audy Band).

Sudah pasti, selain nama-nama di atas, masih banyak keluarga sukses lain di Indonesia yang putra-putrinya juga berkilau. Entah itu yang berkiprah sebagai profesional bisnis, wirausaha, olahragawan, seniman, birokrasi publik, dan profesi lain (bisa dilihat di Tabel). Terlepas dari diskusi siapa saja yang terbilang keluarga sukses, sesungguhnya yang sangat menarik mengurai mengapa keluarga itu (orang tuanya) bisa melahirkan generasi atau anak-anak yang sukses seperti itu. Mengapa ada keluarga yang sangat sukses seperti itu, tapi di lain tempat banyak keluarga yang sebagian kecil saja anggotanya yang sukses atau malah tidak ada sama sekali? Apa “gizi” yang diberikan?

Sekali lagi, betapapun, meraih prestasi seperti itu pasti bukan pekerjaan mudah walau semua orang tua menginginkannya. Kita mungkin juga akan sepakat bahwa kesuksesan keluarga-keluarga itu tak jatuh dari langit alias bukan sebuah kebetulan. Ada kondisi dan prasyarat yang mengantarkan mereka ke gerbang sukses bersama-sama. “Kalau orang tua saya tidak mendidik saya dengan baik, tidak mungkin saya bisa sampai seperti ini,” ungkap Erry Firmansyah beberapa hari lalu.

Pernyataan Erry mengungkap hal menarik. Ada elemen-elemen penting di masa lampau yang mengukir dirinya dan saudaranya hingga kemudian menjadi modal sukses berkarier di kemudian hari, khususnya di BUMN. Yakni, faktor pendidikan orang tua. Pernyataan Erry sebenarnya sangat paralel dengan pendapat Malcolm Gladwell, sebagaimana tertuang dalam buku terbarunya Outliers (diterbitkan Litte Brown, 2008) yang cukup menjadi perbincangan publik karena mementahkan paradigma orang sukses yang selama ini berkembang. Malcolm sebelumnya juga membuat heboh dengan bukunya, Tipping Point dan Blink.

Malcolm tak setuju pada pendapat bahwa orang-orang yang sukses seungguhnya karena faktor-faktor yang ada dalam dirinya sendiri seperti kepribadian (personality) dan kecerdasan (intelligence). Paradigma lama selalu mengatakan driving force sukses adalah pada faktor-faktor individual. Padahal, menurutnya, kita bisa mencapai kesuksesan yang semakin banyak dengan cara mencari lingkungan yang memungkinkan orang-orang meraih kesuksesan. Bisa dari budaya yang ada di sekitarnya dan bagaimana orang tuanya hidup dan memberi ruang. “Successfull people are people who have made the most of series of gifts that have been given to them by their culture and their history,” Malcolm menjelaskan.

Orang-orang sukses yang dia sebut sebagai para outlier itu memiliki sejarah dan budaya yang sangat mendukung dan mengantarkannya menjadi orang atau keluarga sukses. Premis Malcolm, kalau ingin sukses, bukan semata-mata mengandalkan intelijensi, tapi juga menciptakan budaya dan lingkungan yang kondusif, termasuk budaya dan lingkungan keluarga (orang tua).

Malcolm antara lain mengambil contoh Bill Gates, salah satu orang terkaya dunia saat ini. Sejarah Bill menunjukkan, wajar dan masuk akal bila dia sukses berbisnis dan menjadi superjenius komputer. Ketika usianya 13 tahun (1969), Bill sudah belajar di sebuah private school di Kota Seattle yang punya ruang komputer dengan mesin ketik jarak jauh dan terhubung dengan mainframe. Siapa saja bisa mengutak-atik (bermain-main) dengan masin ketik jarak jauh itu dan bisa melakukan programming secara real-time. “Di saat itu, bahkan 99% universitas di Amerika belum punya alat ini,” kata Malcolm.

Lalu, ketika berusia 15 tahun, Bill dan mitranya Paul Allen mendapati kenyataan bahwa ada sebuah mesin komputer mainframe di Universitas Washington yang menganggur setiap pukul 2 dinihari sampai pukul 6 pagi. Keduanya lalu bangun pada jam fajar itu dan mengutak-atik pemrograman. Pemuda lain tidak melakukannya karena tidak mendapati fasilitas itu, atau setidaknya tidak tahu. Jadi, di usia itu Bill sudah rutin belajar programming empat jam per hari. Tak mengherankan, ketika usianya 20 tahun, dia punya pengalaman yang jauh lebih banyak ketimbang orang lain sehingga posisi start-nya jauh lebih bagus ketimbang pelaku lain ketika bisnis komputer mulai booming.

Kesempatan, lingkungan dan sejarah mengantarkan Bill sebagai jago programming hingga kemudian lahirlah Microsoft yang membawanya terbang kaya raya. Malcolm hanya ingin menjelaskan, ada faktor sejarah dan lingkungan -- termasuk lingkungan keluarga dan orang tua -- yang menjadi driving force kesuksesan. Dan tampaknya, pandangan Malcolm itu juga tetap relevan untuk menjelaskan realitas keluarga-keluarga sukses di Indonesia. Mungkin bisa mengambil contoh keluarga Sri Mulyani yang 9 saudaranya dan dia sendiri berkarier dengan baik di bidang masing-masing dan rata-rata lulus S-2 dan S-3.

Menurut Mbak Ani, demikian Sri Mulyani disapa kolega dekatnya, sejak dini bapak-ibunya sudah membiasakan anak-anaknya untuk “bersuara”, menceritakan yang mereka alami hari itu. Tiap anak boleh bercerita, bapak-ibunya pun demikian, bercerita tentang pekerjaan. “Jadi, kami terbiasa juga dengan cerita bapak-ibu tentang rekan-rekannya apabila sedang ada masalah, atau mahasiswa yang pintar, mahasiswa bego, mahasiswa yang kurang ajar, dan mahasiswa yang nasibnya perlu dikasihani. Dari cerita itu muncullah nilai-nilai yang bisa diambil sebagai pelajaran,” tutur Sri Mulyani..

Contoh lain, soal kebiasaan membaca. Kebiasaan ini juga ditanamkan dari kecil dan dijadikan semacam hobi. “Kalau pagi di rumah datang koran Suara Merdeka, kami langsung rebutan membacanya. Demikian juga majalah-majalah seperti Kuncung dan Gadis,” katanya. Bahwa kemudian rata-rata anaknya berkembang menjadi sangat artikulatif (pandai berbicara), itu karena orang tuanya memang sudah mengondisikannya dari kecil.

Pola seperti itu ada kemiripan dengan keluarga Noto Husodo Widodo. Seperti dikatakan Joyce, putri drg. Noto yang juga dokter gigi, lingkungan keluarga yang diciptakan ayahnya sangat mendorong anak-anaknya menjadi dokter gigi. Tempat tinggal ayahnya sekaligus dijadikan tempat praktik. Anak-anaknya semasa kecil biasa menghabiskan waktu di klinik sehingga akrab dengan peralatan kedokteran gigi. Bahkan, belajar dan mengerjakan PR juga di klinik.

Belum lagi ayahnya sering “menghukum” dirinya di dalam klinik. Terus, bila musim liburan tiba, sering membantu praktik dengan membersihkan peralatan. Karena sering melihat praktik, dirinya jadi terbiasa. Bahkan, ketika Joyce kuliah, juga saat ini, obrolan tiap bertemu ayahnya -- misalnya saat makan bersama -- tak jauh-jauh dari dunia dokter gigi. “Papa sering menceritakan kasus-kasus yang dia temukan,” kata Joyce.

Pentingnya penciptaan lingkungan yang kondusif seperti itu pun diakui Omar S. Anwar, Presdir PT Rio Tinto, yang saudara-saudaranya juga sukses berkarier di lembaga negara dan dunia bisnis. Menurutnya, kondisi sosial (lingkungan keluarga dan sekolah) sangat menentukan perkembangan dirinya. “Dengan punya lingkungan seperti itu, kita akan terekspos. Sehari-hari mau tak mau menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut,” kata putra Chairul Anwar (alm.), Atase Perindustrian RI di Washington DC 1972-82.

Selain dengan menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan anak, rata-rata keluarga sukses sangat kuat dalam menanamkan nilai-nilai positif dasar seperti disiplin, tidak malas, berusaha keras, sadar waktu, dan beretika dalam pergaulan bermasyarakat.

Soal kedisiplinan, sebut saja. Joyce mengakui ayahnya memberlakukan peraturan yang cukup keras. Sejak kecil diajari berdisiplin. Bila jam pulang sekolah, harus tiba di rumah tepat waktu. Dalam pergaulan pun demikian. Joyce tidak seperti remaja lain seusianya yang bebas bergerak ke mana saja. “Kalau teman-teman lain bisa pergi nonton bareng, saya tak diizinkan. Papa tidak terlalu memberi kebebasan untuk pergi. Ini terutama saat masih SMP,” ujar Joyce yang setelah SMA dan seterusnya tetap dikontrol orang tuanya.

Nilai-nilai senada juga ditanamkan ayahanda Mirta Kartohadiprodjo, Sutan Takdir Alisjahbana. Mirta teringat, pernah setelah ujian selama seminggu di masa SMA dia sedikit santai-santai karena merasa agak kelelahan. Dia mencoba sedikit bermalas-malasan, tapi apa daya, ayahnya memergokinya lalu menyuruhnya bangun. “Dia tanya, ‘Kenapa sih enggak ngapalin vocab Inggris? Kalau bisa 4-5 kata saja sehari dalam seminggu, kamu sudah dapat 40 kata baru. Perbendaharaan katamu akan banyak!’” kata Mirta yang kadang sebal dengan sikap ayahnya yang sangat keras dalam mendidik.

Didikan soal ketekunan dan kesadaran akan waktu juga dirasakan Hendarman Supandji (Jaksa Agung RI) bersaudara yang kini sudah jadi orang-orang mapan. Diceritakan Hendardji, “Ayah saya sangat tak suka melihat pemalas. Kalau pukul 5 pagi belum bangun dan anak masih ngolat-ngolet, ayah saya pasti tidak suka. Pasti langsung disuruh bangun, mandi dan shalat!” Hendardji teringat, pernah ada saudara sepupunya dari Tuban yang datang ke rumahnya. Melihat saudara tersebut tersebut hanya duduk, mengopi dan merokok ketika pagi, sang bapak langsung membentaknya sehingga ia tidak berani datang lagi. “Ijih enom kok keset, mat-matan,” seru ayahnya kala itu dalam bahasa Jawa yang artinya, masih muda kok malas, enak-enakan.

Selain menanamkan nilai sportivitas, keluarga sukses umumnya juga membiasakan anak-anaknya meraih prestasi sedari kecil. Mereka didorong menjadi yang terbaik di tempat masing-masing, dan bukan menjadi orang rata-rata. Arwin Rasyid, Presdir CIMB-Niaga yang juga mantan Presdir Bank Danamon dan PT Telkom, mengisahkan ayahnya yang sangat menekankan agar anak berprestasi.

Ayahnya sering mengingatkan, “Di mana pun berada, carilah prestasi karena prestasi itu yang membawa ke kemakmuran. Kalau menjadi bankir, jadilah bankir yang baik! Kalau sukses jadi bankir yang baik, pasti dapat rumah dan mobil bagus. Jangan berpikir sebaliknya, bekerja di bank untuk mengejar rumah bagus dan mobil bagus. Yang kita kejar prestasi dulu!” demikian pesan ayah Arwin.

Beberapa keluarga bahkan memacu semangat berprestasi dengan memberi sanksi. Mirta pernah dikurung ayahnya selama 7 jam gara-gara ada nilai rapor yang jelek. Sementara Ongki P. Soemarno pernah kena pecut gara-gara ada nilai merah di rapornya saat kelas 1 SD. “Wuuuh... bapak saya galak banget, keras!” kata Ongki. Orang tuanya juga tidak pernah memberikan sesuatu dengan mudah kepada anak-anaknya. Anak-anak diminta untuk berjuang dulu, tak diberikan begitu saja. “Awalnya, kami frustasi. Saya sampai tak pacaran waktu SMA hingga kuliah,” ujar pria yang menikah di usia 23 tahun itu.

Anak-anak juga didorong agar senang berkompetisi. Orang tua Omar S. Anwar, misalnya, menyekolahkan Anwar di luar negeri yang iklim kompetisinya baik. Lingkungan sekolahnya sangat mendukung berkompetisi. “Mereka berkompetisi, berlomba-lomba untuk mendapat nilai yang bagus sehingga saya juga ikut arus itu,” tutur Omar.

Selain itu, sisi pengembangan emosi dan sosial anak juga mulai dibangun. Arwin mengaku, ayahnya selalu menekankan pentingnya ketenangan jiwa (hidup), bukan semata-mata kekayaan. Lalu, jangan menilai orang dari kekayaan, tapi dari strength of the character and the size of the heart. Juga, harus berpegang teguh pada prinsip yang bersifat universal. Prinsip itu antara lain konsekuen, menepati janji, jujur, berjiwa besar, tidak mengambil hak orang, tidak ngomongin orang di belakang dan tidak “main sikut”.

“Juga, jangan minder dan harus menghormati semua orang. Kami harus punya pendirian dan fair kepada siapa pun,” ujar Arwin. Tak mengherankan, dalam memaknai sukses pun orang tua Arwin agak berbeda. “Sukses adalah apabila kita dapat memperoleh rasa damai pada diri kita sendiri, mencapai target yang kita tentukan, dan bisa memberikan kontribusi kepada lingkungan kita, baik keluarga maupun konteks yang lebih luas seperti saudara yang kurang mampu,” Arwin mengungkapkan.

Dari sisi gaya hidup, meski sebagian datang dari keluarga mapan, mereka dididik hidup sederhana. Mereka dibiasakan tak berlebihan dan efisien. Ongki, Ari dan Rini pun demikian. Mereka dididik mandiri. “Bapak saya selalu menekankan, jangan mudah minta tolong sama orang. Jangan membebani orang lain. Itu sudah mendarah daging di keluarga kami,” kata Ongki. Jadi, walau bersekolah di Belanda, mereka sudah bekerja sejak SMP. “Liburan diisi dengan bekerja di toko buku atau pabrik permen. Semua anak punya pengalaman kerja waktu masih muda. Kami punya karakter sama: tidak mau buang waktu di masa muda,” Ongki menjelaskan.

Yang juga tak kalah penting, rata-rata keluarga sukses mencoba mengalihkan anak-anaknya dari pergaulan yang kurang kondusif dengan memberi kegiatan ekstra yang positif: berolah raga untuk membangun sportivitas, kursus, dan sebagainya. Sri Mulyani tak menampik, ketika menuju dewasa, dia dan saudaranya didorong aktif di sekolah daripada bergaul dengan lingkungan yang tak kondusif. “Kami dibiasakan ikut olah raga dan kesenian selain belajar di sekolah. Tujuannya, agar energi tersalurkan melalui kegiatan positif,” ujar Sri Mulyani yang biasa ikut kegiatan bola voli, basket, pramuka, hiking, Palang Merah Remaja dan paduan suara.

Hal yang sama terjadi di keluarga Supandji. Diceritakan Hendarti Permono Supandji, di keluarganya tiap anak diharuskan memiliki hobi. Olah raga dan musik merupakan dua bidang yang diutamakan ayahnya. “Pada hari tertentu kami dibangunkan pukul 5 pagi. Bapak sendiri yang mengendarai jip tentara membawa kami ke kolam renang di Secang yang jaraknya 30 km dari tempat tinggal kami di Magelang. Bapak melatih satu per satu anaknya berenang,” katanya.

Lalu, tiap Minggu pagi, ada sopir dari Akademi Militer, Magelang, yang mengantarkan anak-anak untuk belajar piano dan biola. “Jika sopir sedang berhalangan, kami naik bus dari Magelang ke Jogja,” kata Hendarti. Sebetulnya, ia sempat kesal mengapa tak bisa bebas bermain seperti anak-anak lain, tapi kini ia mengerti bahwa langkah ayahnya benar. “Manusia tak hanya dikembangkan dari kecerdasan otak saja, tapi juga kecerdasan lain seperti bermusik dan motorik. Kita tahu dari ilmu psikologi bahwa terdapat 12 kecerdasan yang semuanya harus dilatih,” paparnya.

Tentu saja, orang tua tidak boleh egois. Menuntut anak berprestasi, tapi mereka tak mau berkorban. Bila diamati, tampaknya keluarga dengan anak-anak yang sukses diawali dari orang tua yang berkomitmen dan siap berkorban demi mengantar anak-anaknya menggapai masa depan.

Contoh menarik di keluarga Markis Kido, juara ganda Olimpiade Beijing yang saudara-saudaranya juga atlet nasional bulu tangkis. Markis menceritakan, pengorbanan orang tuanya sangat besar, sehingga dia dan saudara-saudaranya punya semangat berkobar untuk mencapai prestasi. Setiap mau latihan, pagi-pagi semua anak sudah dibangunkan, digendong dan dimasukkan ke mobil satu demi satu. Semangat orang tuanya itu membuat Markis tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. “Orang tua saya sampai harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mengikuti berbagai turnamen. Bahkan, orang tua kami langsung yang mengantar, baik ketika tanding di dalam maupun luar negeri,” katanya.

Kesediaan berkorban juga diwujudkan dengan memberikan dukungan dan fasilitas, baik materiil seperti peranti pendidikan dan belajar ataupun nonmateril seperti suasana dan budaya keluarga. Orang sukses rata-rata lahir dari orang tua yang meyakini paradigma bahwa pendidikan sangat penting. Keluarga Omar S.Anwar dan Soemarno juga seperti itu.

Ongki P. Soemarno menjelaskan, orang tuanya sangat percaya pentingnya pendidikan. “Bapak saya percaya sekali beliau bisa menjadi gubernur, sekjen, dan menteri karena pendidikan. Bapak tidak punya tujuan menjadikan kami sebagai pengusaha karena ambtenar tulen. Bukan materi, yang penting pendidikan,” kata pria yang lulus magna cumlaude dari Harvard University itu (program MBA). Untuk itu pula, orang tuanya bersusah-payah membiayai anak-anaknya ke luar negeri.

Yang tak ketinggalan, tampaknya para orang tua tersebut juga terus menstimulai putra-putrinya untuk berkembang sesuai dengan minat masing-masing alias tidak membiarkan anak tumbuh tanpa arah. Orang tua Arwin Rasjid gemar mengajarkan kepada anak-anaknya untuk rajin membaca buku-buku biografi orang terkenal dan orang sukses. Arwin pun mengaku sangat senang dengan kebiasaan itu. Ia menandaskan, dengan membaca biografi orang-orang besar, juga berbagai artikel yang mendorong pengembangan kepribadian, kita menjadi banyak belajar. Bagaimana dengan keluarga Anda?