Minggu, 11 Januari 2009

Dahlan Iskan Empat Contoh Pilihan setelah Krisis

Inilah empat contoh pertumbuhan ekonomi yang saya ambil dari orang-orang dekat saya:

Contoh I:

Dia insinyur lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang begitu lulus melamar menjadi wartawan Jawa Pos. Prestasinya baik, sedikit di atas rata-rata. Karir terakhirnya sebagai jurnalis adalah redaktur ekonomi. Dia mampu membeli rumah, mobil, menyekolahkan anak di universitas swasta terbaik, dan akhirnya punya menantu orang Jerman. Rumahnya, meski tidak besar, empat unit. Tersebar di berbagai lokasi di Surabaya.

Hidup sehari-harinya sangat tertib. Mobil pertamanya, bekas, kelas 1000 cc dirawat dengan sangat baik: bersih, mulus, dan kalau parkir tidak pernah mencong sedikit pun. Baju yang dikenakannya tidak mahal, tapi selalu rapi. Wajahnya penuh senyuman. Tidak pernah terlihat merokok atau ikut hura-hura. Tidak punya bon di kantor dan tidak juga senang utang ke teman-teman kerjanya. Hampir tidak pernah sakit sehingga asuransi kesehatannya sering kembali menjadi tabungannya.

Kalaupun dia punya beberapa rumah, bukan karena gajinya sangat besar. Tapi, dia sangat menghitung sistem keuangan rumah tangganya. Ketika kali pertama beli rumah (cicilan), dia pilih lokasi yang masa depan lokasi itu harganya terus naik. Dia memang wartawan ekonomi yang kritis terhadap perhitungan keuangan. Ketika rumah di lokasi itu sudah sangat mahal, dia jual rumah itu. Sebagian untuk melunasi cicilan, sisanya dia jadikan uang muka untuk dua rumah: gajinya yang baru sudah cukup untuk mencicil dua rumah yang harganya masih murah.

Dua rumah itu juga dia pilih yang lokasinya baik sehingga harga masa depannya terus naik. Beberapa tahun kemudian harga rumah itu sudah sangat tinggi. Lalu, dia jual lagi. Hasilnya untuk melunasi cicilan dan jadi uang muka untuk empat rumah. Kini semuanya sudah lunas. Dia termasuk orang yang berpikiran jauh ketika membeli rumah. Selain untuk tempat tinggal, itu juga untuk investasi. Bukan seperti saya, ketika pertama beli rumah dulu: beli rumah dengan pikiran sangat tradisional, hanya untuk tempat tinggal. Waktu itu saya tidak pilih-pilih lokasi. Yang penting terjangkau. Sampai sekarang, setelah 30 tahun pun, harganya tidak seberapa naik. Maklum, sering kebanjiran.

Kini dia menjadi direktur utama di salah satu anak perusahaan Jawa Pos.

Kalau saya renungkan, pertumbuhan ekonomi orang seperti dia kira-kira 15 persen setahun. Berarti jauh di atas pertumbuhan ekonomi negara yang sekitar 6 persen setahun itu.

Tapi, orang seperti dia adalah orang yang sedikit ikut menikmati bubble (gelembung) ekonomi. Dia ikut menikmati kenaikan harga tanah yang panas bukan karena sinar matahari, tapi karena digoreng. Dia ikut mencicipi gorengan itu. Maka bisa dibayangkan berapa persen pertumbuhan ekonomi dari orang yang menggoreng.

Tanpa ada penggorengan, orang seperti dia juga tidak akan ikut menikmati. Jadi, kalau ada pertanyaan ke mana larinya uang-uang hasil penggelembungan ekonomi yang menyebabkan krisis itu, salah satu di antaranya jatuh kepada orang seperti anak buah saya itu. Tapi, dia hanya ikut menikmati sangat sedikit. Yang banyak adalah yang menggoreng itu. Penggorengan akan sangat sukses kalau dilakukan di kota besar. Kian besar sebuah kota, kian dahsyat penggorengannya. Kian banyak juga hasil gorengan yang dinikmati. Kian kecil sebuah kota, kian sedikit ikut menikmati.

Apakah orang seperti anak buah saya itu sudah tergolong rakus yang kemudian menyebabkan krisis ini?

***

Contoh II

Kemarin malam, jam 03.00 pagi, saya ke percetakan Jawa Pos. Melihat proses pengiriman koran kepada agen-agen. Kali ini bukan karena saya harus bekerja keras, melainkan kangen saja pada apa yang saya lakukan 20-25 tahun lalu. Saya ngobrol dengan orang yang kerjanya mengangkut koran.

Dia sudah bekerja sebagai pengangkut koran sejak 1986, sejak masih bujang dan sejak kantor Jawa Pos masih di Jalan Kembang Jepun. Waktu itu dia sopir bemo. Bemonya milik orang lain, dia kerja setoran. Dini hari bemonya untuk mengangkut koran, siangnya untuk angkut penumpang. Lima tahun kemudian dia bisa membeli mobil bekas, Hijet 1000. Dia mulai mengangkut koran dengan mobil milik sendiri.

Sepuluh tahun kerja angkut koran, dia bisa beli mobil lagi. Kali ini mobil baru, cicilan, Mitsubishi T1200. Maka dia mulai bisa menyewakan dua mobil untuk mengangkut koran. Hasil dua mobilnya itu bisa untuk membeli rumah, menghidupi rumah tangga, membeli sepeda motor, dan membeli sepeda pancal untuk anaknya yang sekolah di SMP.

Sepuluh tahun terakhir ini dia tidak bisa menambah armada. Hingga kemarin, Hijet 1000-nya yang sudah berumur 25 tahun itu masih beroperasi. Memang, bodinya sudah tidak asli lagi. Tapi, sebagai mobil, Hijet itu masih berjalan. Dia belum punya gambaran kapan bisa membeli mobil yang ketiga. Bahkan, sepeda motornya harus dijual untuk membantu adiknya berobat. Beban rumah tangga, naiknya beban hidup, dan adiknya yang sakit menyebabkan perjalanan 10 tahun terakhirnya tidak sebaik 10 tahun pertamanya.

Kalau saya perkirakan, pertumbuhan ekonomi rekan pengangkut koran ini mula-mula 6 persen setahun, kemudian menjadi 4 persen setahun. Kalau dirata-rata dalam 20 tahun kehidupannya, pertumbuhan rata-rata ekonominya adalah 5 persen setahun. Hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi negara.

Dia termasuk yang tidak ikut menikmati ekonomi bubble atau ekonomi gorengan. Tapi, dia bisa ikut menikmati pertumbuhan ekonomi negara berkat kerja kerasnya. Meski pelan-pelan, ekonomi tetap naik. Sudah tentu tidak secepat yang dekat-dekat wajan penggorengan.

***

Contoh III

Saya punya seorang teman, yang mulai berusaha di Surabaya bersamaan dengan saya mulai memimpin Jawa Pos pada 1982. Dalam 25 tahun kemudian, kemajuan teman saya itu empat sampai delapan kali lipat kemajuan Jawa Pos.

Saya sering memikirkan mengapa perbedaan kemajuan itu bisa seperti bumi dan sumur. Tapi, saya tetap bersyukur bahwa perkembangan Jawa Pos bisa mencapai sekitar 30 persen per tahun, tanpa harus menjadi tukang goreng. Saya juga sering memuji teman saya itu sebagai pengusaha yang sangat sukses karena memang kerjanya luar biasa keras. Saya justru lebih sering iri kepada kemampuan kerja kerasnya daripada kemampuan meningkatkan kebesaran perusahaannya.

***

Contoh IV

Saya terkagum-kagum dengan teman saya yang lain. Sama-sama memulai usaha pada 1980-an, dalam waktu 10 tahun perkembangan perusahaannya luar biasa. Dialah yang paling hebat di antara teman-teman saya yang hebat. Bisnisnya tidak hanya tumbuh puluhan persen, tapi ribuan persen.

Saya lihat, dalam kehidupan sehari-harinya dia tidak pernah berhenti mikir bagaimana cara membesarkan perusahannya. Mulai taksi hingga oksigen. Mulai tanah sampai bank miliknya. Dia juga sangat rajin berolahraga, terutama renang. Saya pernah berutang nyawa kepadanya. Yakni, saat saya berenang di laut Pulau Lombok. Saya hampir tenggelam. Dia yang membawa saya ke pantai.

Tapi, dia hanya 10 tahun menikmati hasil kerjanya itu. Suatu saat ditemukan ada kanker di pangkreasnya. Dia down luar biasa. Lalu meninggal dunia, 15 tahun lalu. Dia tidak sempat menyaksikan krisis Asia pada 1997/1998 maupun krisis dunia 2007/2008.

***

Setelah krisis dunia berakhir nanti, model-model pilihan hidup berikutnya tidak juga jauh dari empat contoh tadi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar